I HAVE A VOICE, WON’T YOU LISTEN TO ME?
Every person in this town bends over backward to make Bianca feel at home. Why do you think she has so many places to go and so much to do? Huh? Huh? Because of you! Because – all these people – love you! We push her wheelchair. We drive her to work. We drive her home. We wash her. We dress her. We get her up, and put her to bed. We carry her. And she is not petite, Lars. Bianca is a big, big girl! None of this is easy – for any of us – but we do it… Oh! We do it for you! So don’t you dare tell me how we don’t care.
Satu potongan adegan pembicaraan dalam scene film ini yang saya sukai. Film ini bercerita tentang seorang lelaki Lars (Ryan Gosling), yang hidup bersama kakak (Gus/Paul Schneider) dan iparnya (Karin/Emily Mortimer). Lars memiliki sifat introvert dari kecil dan ia tidak menyukai kontak langsung dengan orang-orang namun ia selalu memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Suatu ketika Lars membeli Bianca dari toko online, sebuah boneka wanita yang menjadi simbol dalam kehidupannya. Adegan pembicaraan diatas adalah ketika Lars marah karena Bianca yang merupakan pacarnya tidak memiliki waktu untuknya, dan terus pergi bersama orang lain. Peran yang dimainkan Ryan Gosling membingungkan perasaan penonton karena disatu sisi ada rasa jijik ketika melihat seorang lelaki menganggap boneka adalah pacarnya dan ada perasaan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai membuat Lars bisa seperti itu.
Jika kita telaah kembali, kita pun sering berbicara/berinteraksi dengan benda mati, kebanyakan adalah dengan barang-barang yang kita cintai. Sosok pribadi Bianca adalah ilusi yang dibangun Lars sebagai perwujudan dirinya sendiri. Alur cerita film ini sangat bagus, di mana kajian terkait kemanusiaan sangat kental. Juga mengingatkan penonton dengan kehidupan kita sendiri, di mana hidup di zaman semakin modern menghilangkan sikap kemanusiaan dari nilai-nilai kebudayaan. Manusia hidup hanya untuk kegilaan modernitas seperti yang disalurkan Lars kepada Bianca. Lars merupakan korban dari kehilangan sikap kemanusiaan dalam keluarganya.
I HAVE A VOICE, WON’T YOU LISTEN TO ME?
Ketika melihat para tokoh legendaris yang memiliki karir gemilang, kita akan begitu takjub dan mendambakannya terjadi dalam hidup kita. Namun, siapa sangka, mereka juga punya titik terlemah dalam hidup mereka?
Salah satunya tercermin dalam kisah Bertie, raja Inggris dalam “The King Speech” yang diputar di Kelas Humaniora. Sosok Bertie memperlihatkan seorang calon raja yang sedang berusaha menyembuhkan kegagapan untuk mengumandangkan pidato deklarasi perang di depan seluruh rakyatnya.
Proses penyembuhannya tidaklah mudah. Berbagai kegagalan terapi mulai memunculkan keputusaan dalam diri Bertie. Namun, sang istri, Elizabeth, merupakan wanita yang suportif dan dengan teguh berusaha mengobati sang suami hingga ia mempertemukan Bertie dan Lionel, terapis bicara.
Lionel perlahan-lahan melatih Bertie untuk berbicara dengan berbagai tekniknya yang unik. Di sini terungkaplah bahwa kegagapan Bertie bukanlah penyakit atau cacat bawaan melainkan gangguan psikis karena tekanan mental dari pola didik ayahnya yang keras. Hasilnya Bertie tumbuh menjadi karakter yang penakut dan rasa takut itu terwujud menjadi kegagapannya.
Setelah menyadari hal itu, Bertie mulai membangkitkan tekad dalam diri dan salah satu dialog ini menunjukkan kepercayaan dirinya telah muncul dan ia siap untuk melawan ketakutannya. Di akhir cerita, Bertie berhasil berpidato di depan para rakyatnya dan menjadi sosok Raja George VI yang dikenal oleh dunia sebagai penerus tahta kerajaan Inggris di abad perang dunia ke-2.Akhir kata, tunjukkan keberanianmu, gerakkan tekadmu, lawan ketakutan itu dan bersiaplah menjadi tokoh legendaris yang kamu cita-citakan.
Leave a Reply