Ternyata, QLC adalah Masalah Seumur Hidup Kita!
Dulu, waktu aku kecil, aku takut banget jadi orang gede–dewasa. Aku takut nanti nggak bisa main lagi, takut nanti banyak pikiran, bahkan takut nanti aku nggak tahu mau ngapain. Aku nggak cerita sama orang tua, tapi dipendam sendiri.
Akhirnya sekarang, di usiaku yang 23 tahun ini, aku nggak terlalu merasa takut buat jadi dewasa. Hidup mengalir aja. Tapi, meski hidupku mengalir kaya air di pesisir, ternyata aku juga mengalami berbagai rintangan hidup. Sempat juga merasa cemas nanti aku mau kuliah di mana dan nanti mau jadi apa. Akhirnya ya bisa lulus kuliah dengan ala kadarnya, dan aku sekarang punya kegiatan ya nulis-nulis gitu. Tapi, aku juga nemuin masalah-masalah hidup lainnya yang nggak bisa aku ceritain.
Ternyata oh ternyata, masalah dalam hidupku ini disebut QLC atau Quarter Life Crisis. Sebenarnya nggak terlalu paham juga tentang QLC ini, Tapi, aku jadi lebih paham tentang QLC berkat Wilwatikta Foundation yang ngadain sesi sharing pada Sabtu, 3 Juli lalu buat bahas “A Way to Survive a Quarter Life Crisis: The Art of Choosing the Future” bareng Ibu Ira Adelina, Dosen Psikologi Universitas Kristen Maranatha, dan juga Kak Karina Chandra, copywriter Lamrimnesia.
Mari kita mulai dengan krisis yang sempat dialami Kak Karina. Sejak SMA, ia punya banyak mimpi yang keren, seperti mau kuliah sampai S2, lulus, terus kerja di perusahaan gede dapat gaji 8 digit, dan juga nulis buku sampai bisa diterbitkan. Setelah lulus SMA, Kak Karina ikut versi “jadul”-nya program Youth Super League–program pendampingan menjelang dan semasa kuliah dari Wilwatikta foundation. Di program ini Kak Karina dikenalin dengan berbagai pandangan hidup, dikasih tahu kalau sukses itu nggak harus nerbitin buku jadi best seller dan sukses juga nggak harus kerja di perusahaan gede gaji 8 digit. Karena hidup ini nggak hanya mengejar kesuksesan materi saja, tapi ada hal yang lebih penting, yaitu saat kita punya kualitas batin–kebaikan hati. Dari program ini, akhirnya timbul banyak pertanyaan karena kebingungan yang dialami Kak Karina tentang apa yang harus ia lakukan.
Kak Karina juga mengalami krisis lainnya saat mau kuliah jurusan sastra tapi kurang mendapat dukungan dari orang tua. Akhirnya Kak Karina mendapat jalan tengah dengan cara ambil jurusan yang menarik meski nggak secara langsung berhubungan sama cita-cita awalnya. Sambil jalanin proses kuliah buat melatih pola pikir, Kak Karina ikut berbagai kegiatan dan bikin berbagai proyek yang berhubungan dengan cita-cita itu. Sampai pada waktunya Kak Karin membuat tugas akhir, semua kegiatan terbengkalai karena fokus ke tugas akhir. Di sini krisis pun mulai lagi. Setelah Kak Karina berhasil lulus kuliah pun, bermacam-macam krisis kembali terjadi sampai-sampai dia bisa terpikir bahwa mungkin sebenarnya setiap tahapan kehidupan itu adalah krisis!
QLC dan Penyebabnya
Quarter Life Crisis atau krisis hidup seperempat abad adalah masa-masa seseorang sedang memperjuangkan gimana dia bisa hidup di masa depan. Psikolog Ibu Ira Adelina menuturkan kalau QLC biasanya dialami orang-orang yang berusia di rentang 20 sampai 30 tahun. Ini adalah rentang usia remaja akhir menuju dewasa awal yang meliputi transisi kehidupan karena perubahan lingkungan dan banyaknya pilihan dalam hidup. Hal ini bikin rasa cemas dan khawatir akan masa depan muncul, diikuti dengan mempertanyakan tujuan hidup dan kesanggupan untuk mencapai cita-cita. Bu Ira memberi contoh masa-masa kelulusan kuliah. Banyak orang merasa bingung nanti setelah lulus mau ngapain. Karena biasanya masa kuliah mereka merasa “dimudahkan”–tugasnya cuma belajar, ketika akan memasuki transisi kehidupan yang ditandai dengan kelulusan, mereka jadi merasa kehilangan arah karena tidak cara menghadapi kehidupan atau menghidupi dirinya sendiri. Perasaan cemas, bingung, khawatir, dan merasa nggak ada tujuan inilah yang menjadi ciri-ciri saat kita mengalami QLC.
Suatu hal muncul pasti ada penyebabnya. Ibarat kebakaran, kalau nggak dipantik sama api ya nggak bakal terjadi kan ya? Nah, QLC pun ada penyebabnya. Bu Ira ngasih tahu kita semua ada empat penyebab QLC yang sedang kita alami.
Sebab pertama, kita nggak kenal sama diri sendiri. Kalau nggak kenal sama diri sendiri, jadinya kita nggak ngerti kelebihan dan kekurangan kita tuh apa. Jadi, ya nggak bisa menentukan pilihan. Kenali diri sendiri dulu, cari kelebihan dan kekurangannya, baru kita bisa menentukan pilihan hidup.
Sebab kedua, tidak punya rencana. Kalau nggak punya rencana, otomatis kita nggak bakal ngerti mau ngapain. Hidup itu perlu rencana guys. Kan kita nggak bisa diem aja ngebiarin hidup berjalan apa adanya. Tentunya kita wajib punya rencana hidup, mau sukses, mau jadi pengusaha, atau bahkan mau jadi orang baik pun perlu punya rencana. Kalau punya rencana, kita jadi tahu langkah apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya.
Sebab ketiga, perubahan fase hidup yang bikin kita menemukan peran baru. Bu Ira ngasih contoh seseorang yang habis kuliah. Setelah lulus, mereka akan berganti peran: tadinya jadi mahasiswa, habis lulus harus bisa menghidupi diri sendiri. Belum lagi banyak tuntutan lingkungan, misalnya disuruh nikah, punya anak, dan seterusnya. Pergantian peran ini yang kadang bikin kita khawatir: kita bisa atau nggak ngejalaninnya?
Sebab keempat, terlalu banyak pilihan. Menurut Bu Ira, kalau hidup kita terlalu banyak pilihan, kita bakal bingung dan jadi takut salah pilih. Contohnya, kalau lulus kuliah, bisa jadi bukannya dapat kerja, kita malah membentuk geng pengangguran baru karena nggak tahu mau kerja apa dan belum tentu diterima ketika melamar kerja. Nah, daripada dapat cap pengangguran, mending kelulusannya ditunda…
Kalau hidup nggak punya tujuan dan nggak sesuai keinginan, terus kita mesti ngapain?
Tips Menghadapi QLC
Lebih lanjut Bu Ira menjelaskan cara yang bisa kita lakuin buat menghadapi QLC yang sedang kita alami. Buat menghadapi QLC, pertama-tama kita kudu mengenali diri sendiri dengan baik, lalu kita bikin perencanaan tentang tujuan hidup kita. Cari juga support system yang positif dan mendukung buat kita. Misalnya jangan berteman dengan sembarang orang, tapi pilih-pilihlah teman yang bisa mendukung kamu buat maju, mau maju bersama, dan nggak ragu bersikap tegas demi kebaikanmu.
Bu Ira menambahkan kalau kita juga harus bisa ambil pelajaran dari suatu peristiwa, apalagi kalau kita sudah masuk usia dewasa. Memasuki usia dewasa bikin kita ketemu berbagai masalah yang nggak direncanain. Masalah-masalah ini nggak boleh kita lewatkan begitu saja. Harus kita renungi dulu masalahnya, jangan diabaikan, lalu cari jalan keluarnya. Dari situ, kita bisa belajar mengendalikan emosi sehingga nggak mudah marah dan bertanggung jawab buat menghadapi segala hal yang sudah kita putuskan.
Kesimpulan
Dari sesi sharing ini, aku bisa dapat beberapa poin yang bisa membuka pikiranku tentang apa itu QLC, terutama perihal pergantian peran di masa-masa tertentu yang bisa bikin aku bingung, cemas, dan khawatir tentang masa depan. Aku jadi tahu supaya masa depanku bisa sesuai keinginanku, aku perlu mengenal diri, menentukan tujuan hidup, dan juga cari support system yang tentunya bisa bikin kita maju dan berkembang. Tak hanya itu, aku juga kepikiran perlu kualitas batin berupa kebaikan hati biar bisa membantu orang lain juga yang sedang mengalami krisis serupa.
Menjadi dewasa ternyata tidak semengerikan itu kalau aku mau berusaha buat memperbaiki diri menjadi lebih baik. Poin ini nggak cuma berlaku buat aku aja, tapi buat kita semua biar kita tahu. Satu lagi yang perlu diingat, seperti kata Kak Karina, selalu ada perubahan di setiap fase kehidupan. Kita pun pasti perlu berganti peran sesuai perubahan itu dan bertemu dengan krisis-krisis baru. Tapi, selama kita tahu bahwa kita juga bisa bertumbuh jadi lebih baik dan bijak, kita pasti bisa melaluinya. Mari berjuang bersama!
Acara ini mendapat dukungan penuh dari Cakap Skill dan Mitra Pengembangan.
Leave a Reply