Vaartha Edisi 9

Ada nuansa kepemudaan yang cukup kental dalam edisi Vaartha kali ini. Sebuah nuansa yang sangat baik, tentunya! Karena boleh dibilang bahwa Vaartha eksis dalam usaha untuk memunculkan dan memelihara corak paling khas dari seorang anak muda: pencarian makna hidup dan pertanyaan tak kunjung habis atas hal-ihwal di dunia. Seorang yang masih muda bisa saja tidak punya semangat anak muda kalau dia lembam dan nyaman dengan situasinya saat ini, sementara di sisi lain, seorang yang sudah tua secara usia boleh jadi akan terus muda dalam jiwa asalkan dia selalu menjaga keresahan khas anak muda. Dengan kata lain, anak muda atau menjadi muda adalah soal pikiran, bukan fisik. Kita bisa melihat semangat anak muda ini dalam ketiga tulisan Polemik kali ini.

Tanpa perlu berpanjang kata lagi, pembaca kini diajak untuk beralih ke halama berikutnya. Semoga jiwa dan semangat anak muda senantiasa membara dalam diri kita semua!

 

[pdf-embedder url=”https://wilwatikta.or.id/wp-content/uploads/2019/08/VAARTHA09.pdf”]

 

Klik disini jika halaman tampilan tidak muncul.

Sadulur Salembur

Salah satu quote yang dibawakan oleh Kang Andi Bharata dalam kegiatan “Sadulur Salembur” ini telah mengingatkan kembali posisi adik-adik Nalanda Studi Center (NSC) dalam masyarakat. Sebagai generasi muda, kita boleh memiliki segudang prestasi, berbagai gelar dan jabatan yang tinggi namun perlu diingat kembali, kita adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.

Hidup kita takkan pernah terpisah dari berbagai isu-isu sosial dalam masyarakat. Kemacetan, sampah, pkl dan terbentuknya kampung kota akibat kesenjangan ekonomi, dengan mudah Kita temukan di sekitar kita. Semuanya telah menjadi bagian dari keseharian ini.

Kita tak bisa hanya menunggu suatu kebijakan dari para petinggi untuk menyelesaikannya. Sambil menunggu satu, akan munculnya isu permasalahan-permasalahan lain. Pada akhirnya, semuanya takkan pernah terselesaikan. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Jawabannya adalah bangunkan rasa kepekaan lingkungan dalam diri ini. Ciptakan berbagai inovasi cermat dari wawasan yang telah kita raih. Apapun bentuknya, marilah kita coba, just one simple action, it makes a change.

I HAVE A VOICE, WON’T YOU LISTEN TO ME?

Every person in this town bends over backward to make Bianca feel at home. Why do you think she has so many places to go and so much to do? Huh? Huh? Because of you! Because – all these people – love you! We push her wheelchair. We drive her to work. We drive her home. We wash her. We dress her. We get her up, and put her to bed. We carry her. And she is not petite, Lars. Bianca is a big, big girl! None of this is easy – for any of us – but we do it… Oh! We do it for you! So don’t you dare tell me how we don’t care.

Satu potongan adegan pembicaraan dalam scene film ini yang saya sukai. Film ini bercerita tentang seorang lelaki Lars (Ryan Gosling), yang hidup bersama kakak (Gus/Paul Schneider) dan iparnya (Karin/Emily Mortimer). Lars memiliki sifat introvert dari kecil dan ia tidak menyukai kontak langsung dengan orang-orang namun ia selalu memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Suatu ketika Lars membeli Bianca dari toko online, sebuah boneka wanita yang menjadi simbol dalam kehidupannya. Adegan pembicaraan diatas adalah ketika Lars marah karena Bianca yang merupakan pacarnya tidak memiliki waktu untuknya, dan terus pergi bersama orang lain. Peran yang dimainkan Ryan Gosling membingungkan perasaan penonton karena disatu sisi ada rasa jijik ketika melihat seorang lelaki menganggap boneka adalah pacarnya dan ada perasaan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai membuat Lars bisa seperti itu.

Jika kita telaah kembali, kita pun sering berbicara/berinteraksi dengan benda mati, kebanyakan adalah dengan barang-barang yang kita cintai. Sosok pribadi Bianca adalah ilusi yang dibangun Lars sebagai perwujudan dirinya sendiri. Alur cerita film ini sangat bagus, di mana kajian terkait kemanusiaan sangat kental. Juga mengingatkan penonton dengan kehidupan kita sendiri, di mana hidup di zaman semakin modern menghilangkan sikap kemanusiaan dari nilai-nilai kebudayaan. Manusia hidup hanya untuk kegilaan modernitas seperti yang disalurkan Lars kepada Bianca. Lars merupakan korban dari kehilangan sikap kemanusiaan dalam keluarganya.

I HAVE A VOICE, WON’T YOU LISTEN TO ME?

Ketika melihat para tokoh legendaris yang memiliki karir gemilang, kita akan begitu takjub dan mendambakannya terjadi dalam hidup kita. Namun, siapa sangka, mereka juga punya titik terlemah dalam hidup mereka?

Salah satunya tercermin dalam kisah Bertie, raja Inggris dalam “The King Speech” yang diputar di Kelas Humaniora. Sosok Bertie memperlihatkan seorang calon raja yang sedang berusaha menyembuhkan kegagapan untuk mengumandangkan pidato deklarasi perang di depan seluruh rakyatnya.

Proses penyembuhannya tidaklah mudah. Berbagai kegagalan terapi mulai memunculkan keputusaan dalam diri Bertie. Namun, sang istri, Elizabeth, merupakan wanita yang suportif dan dengan teguh berusaha mengobati sang suami hingga ia mempertemukan Bertie dan Lionel, terapis bicara.

Lionel perlahan-lahan melatih Bertie untuk berbicara dengan berbagai tekniknya yang unik. Di sini terungkaplah bahwa kegagapan Bertie bukanlah penyakit atau cacat bawaan melainkan gangguan psikis karena tekanan mental dari pola didik ayahnya yang keras. Hasilnya Bertie tumbuh menjadi karakter yang penakut dan rasa takut itu terwujud menjadi kegagapannya.

Setelah menyadari hal itu, Bertie mulai membangkitkan tekad dalam diri dan salah satu dialog ini menunjukkan kepercayaan dirinya telah muncul dan ia siap untuk melawan ketakutannya. Di akhir cerita, Bertie berhasil berpidato di depan para rakyatnya dan menjadi sosok Raja George VI yang dikenal oleh dunia sebagai penerus tahta kerajaan Inggris di abad perang dunia ke-2.Akhir kata, tunjukkan keberanianmu, gerakkan tekadmu, lawan ketakutan itu dan bersiaplah menjadi tokoh legendaris yang kamu cita-citakan.

Vaartha Edisi 8

VAARTHA 08 – Book Lovers Day

Merayakan Book Lovers Day adalah sama saja dengan merayakan alasan keberadaan Vaartha sampai sejauh ini. Tidak ada pengetahuan dan kearifan tanpa buku. Dan acap kali kita mendengar ungkapan bahwa buku adalah jendela dunia. Namun, seberapa relevankah membaca buku pada era digital saat ini? Rubrik T&J berusaha menjawab isu ini dengan mewawancarai direktur penerbit YPPLN, Saudari Silvia Fukada, karena tentunya tidak ada yang lebih kompeten untuk membahas serba-serbi perbukuan ketimbang direktur sebuah penerbit buku.

Soal ungkapan buku sebagai jendela dunia dikupas lebih lanjut oleh Saudara Syariv dalam rubrik Polemik, di mana dia mempertanyakan logika dari upaya mencerdaskan anak bangsa dengan razia buku oleh ‘oknum’ yang berlangsung secara paralel. Ini tak pelak menajdi tugas berat bagi pemerintah terpilih yang baru, juga sekaligus sebagai ujian bagi komitmen mereka untuk menjaga kebebasan berpendapat di negeri ini.

Sebagai penutup Sapa Pembaca, kiranya tidak ada yang lebih tepat dalam mewakili semangat Book Lovers Day selain semboyan Vaartha itu sendiri: Aku Membaca Maka Aku Ada!

[pdf-embedder url=”https://wilwatikta.or.id/wp-content/uploads/2019/08/VAARTHA08.pdf”]

Klik disini jika halaman tampilan tidak muncul.