HIDUP DALAM TABU: MENIHILKAN PENDIDIKAN SEKS DALAM RUANG PENGAJARAN

Momen saya tergugah bahwa bobot jenis pendidikan Indonesia sangat timpang adalah ketika saya menghadiri sebuah acara launching hasil penelitian perkawinan anak di 12 provinsi yang dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang termasuk dari kelompok tenaga pendidik. Titik klimaks muncul disaat salah satu tenaga pendidik mengeluarkan statement pribadi dalam menanggapi kasus perkawinan anak dari sudut pandang akses pelajar terhadap pendidikan seks. Negara nyatanya tidak memfasilitasi pengetahuan pendidikan seks yang mumpuni bagi pelajar Indonesia; bukan cerita baru bahwa nilai konservatisme yang langgeng dan inheren menjadi salah satu faktor pemicu bahkan cenderung menguat saat ini. Beliau juga menekankan bahwa pendidikan khusus “knowing your body” di sekolah telah ditiadakan sehingga dikhawatirkan dapat memicu berbagai fenomena kekerasan seksual, bukti aktualnya adalah tingginya angka perkawinan anak. Walaupun pengetahuan mengenai pengenalan anggota tubuh sedikit banyak telah dibahas di beberapa mata pelajaran, namun beliau menyatakan adanya pembatasan pengetahuan yang salah satunya diindikasikan oleh tersensornya alat peraga tubuh karena dianggap cabul. Kenyataan ini membuat saya memutar ulang kenangan pengalaman pertama mendapatkan dasar pendidikan seks di masa sekolah. Semua teman saya tertawa ketika guru menyebut nama alat jenis kelamin dan guru saya merasa risih untuk membahas lebih subtil bab pelajaran tersebut. Dengan mengintegrasikan pengalaman empirik dengan situasi saat ini lantas saya paham bahwa absennya pendidikan seksual di ruang kelas ternyata memiliki implikasi yang sangat besar: pengebirian daya imajinasi seksual yang menimpa masyarakat Indonesia khususnya kalangan usia anak dan remaja.

Budaya penyensoran yang tengah marak saat di dunia pendidikan hanyalah fenomena repetitif; bagaimana realita sejarah bangsa dimanipulasi dalam teks buku pelajaran termasuk pendidikan seks yang dianggap sebagai pengetahuan yang layak untuk ‘disembunyikan’ juga. Perasaan vulgar dalam membicarakan seksualitas terhibridisasi dalam pranata sosial serta adat ketimuran yang masih dipegang teguh oleh mayoritas kelompok masyarakat. Atas dasar hal ini, maka keluarga (khususnya orangtua) tidak dapat menjalankan fungsi pendidikan secara maksimal karena terbentur oleh peran dalam mentransmisikan orientasi nilai moral yang berlaku pada generasi selanjutnya. Penciptaan mitos-mitos mengenai seksualitas menjadi jalan tengah yang dilakukan oleh para orangtua dan terlanjur mengakar begitu dalam di benak masyarakat Indonesia sehingga banyak mispersepsi yang muncul. Rasa penasaran yang dengan sengaja direpresi oleh kultur pantangan ini; alih-alih menciptakan sebuah keteraturan, justru menimbulkan hasrat ingin tahu yang tidak terkontrol dan eksperimen personal pada anggota tubuh dengan cara yang tidak tepat. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai ketergantungan dengan kehadiran internet, membuat anak-anak mencari sendiri pemenuhan wawasan mereka mengenai seks di dunia virtual tanpa pengawasan orangtua.

Berbagai perhatian dan kontribusi dari aktivis yang pro terhadap pemberian edukasi mengenai seks dan pengenalan anggota tubuh sejak dini menjadi sebuah pelita dalam fenomena tebang pilih jenis pendidikan di Indonesia saat ini. Meskipun banyak sekali tantangan yang mesti dihadapi karena harus bersinggungan dengan adat, kultur, dan agama namun upaya ini terus dilakukan dengan memberikan pendidikan seks lewat kurikulum non-formal. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berhasil membangun kerjasama dengan pihak sekolah untuk menyampaikan pendidikan seks dan pengenalan anggota tubuh secara khusus di luar jam kegiatan belajar-mengajar. Rintangan lain yang harus dihadapi adalah kegiatan pemberian edukasi lewat kerjasama dengan pihak sekolah memberikan bias bagi kalangan masyarakat yang tidak dapat mengakses bangku pendidikan sehingga diperlukan bentuk edukasi dengan cara lain mengikuti konteks kultur masyarakat setempat. Sayangnya, upaya mulia ini (lagi-lagi) tidak diiringi oleh dukungan pemerintah; jika rancangan KUHP terkait pasal kesehatan reproduksi disahkan maka hanya pemerintah yang berwenang untuk memberikan sosialisasi kesehatan reproduksi, aktivis dan tenaga pendidik yang terlibat sebagai pegiat akan mendapatkan tindak pidana.

Degradasi dunia pendidikan Indonesia yang semakin akut karena tindakan peniadaan pendidikan seks di lingkungan pendidikan mencerminkan abainya negara dalam melindungi masyarakat khususnya pelajar dan anak. Pemerintah telah luput bahwa rancangan KUHP lain yang tengah digadang-gadang di kursi DPR mengenai pasal terkait zina dan pencabulan anak hanya membuat posisi anak semakin rentan terhadap diskriminasi serta maraknya perkawinan anak karena diiringi oleh tersingkirnya pendidikan seks di institusi pendidikan maupun keluarga. Tugas besar untuk mengubah citra pendidikan seks agar tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia kini bukan hanya tugas aktivis dan tenaga pendidik. Diperlukan inisiatif dari masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap pendidikan seks dengan cara membedakan wawasan mengenai seksualitas dari bentuk pornografi. Segala hal yang berhubungan dengan seks juga seharusnya tidak melulu diasosiasikan dengan kata kasar/makian karena keberadaan pendidikan seks dini sangat penting dalam membangun kualitas generasi muda.

Kontributor : Izmy

Pendidikan Tanpa Kelas : Kenapa Tidak ?

Institusi pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah saat ini sudah memiliki banyak macam alternatif. Sekolah berbasis pendidikan alam, sekolah rumah (homeschooling), sekolah dominan muatan ajaran agama, dan masih sekolah lainnya yang seharusnya dapat membantu orangtua dalam memilih sekolah yang tepat bagi sang anak. Sejatinya naluri orangtua, tentunya tersimpan harapan untuk dapat memberikan kualitas pendidikan yang unggul bagi anaknya. Namun harapan ini terkadang berbenturan dengan hal lain, terutama ekonomi, karena untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik ternyata membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Hal dilematis lainnya yang melanda para orangtua dalam memilih institusi pendidikan yang tepat adalah ideologi serta nilai moral yang diberikan oleh sekolah/staff pengajar pada anak serta jaminan keamanan yang melindungi seluruh siswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini ternyata radikalisme telah hadir di ruang-ruang kelas, dipengaruhi oleh latar belakang pengajar atau kurikulum sekolah tanpa sepengetahuan orangtua siswa. Perihal keamanan di sekolah, nyatanya sekolah dengan predikat baik juga bisa luput dalam mengawasi keamanan para siswa. Hal ini tercerminkan pada kasus sebuah sekolah internasional di Jakarta beberapa tahun yang lalu, di mana salah satu staff pengajar di sekolah tersebut adalah seorang predator anak incaran interpol.

Keharusan setiap anak untuk menempuh sekolah formal yang dilegitimasi oleh negara lewat ujian nasional yang menjadi prasyarat kelulusan dan melanjutkan pendidikan membuat sekolah memiliki nilai wajib dan tergolong pada kebutuhan primer. Padahal di sisi lain, adapun faktor internal yang mempengaruhi dalam faktor pemilihan sekolah yaitu karakter dari sang anak. Kita tidak dapat berharap lebih dengan fasilitas yang diberikan oleh sekolah negeri karena adanya ketimpangan perbandingan jumlah siswa dan pengajar. Hal ini menimbulkan keterbatasan perhatian yang diberikan oleh pengajar terhadap siswa. Dengan tipe belajar setiap anak yang berbeda-beda plus variasi karakter anak yang ada, sekolah negeri jelas akan kesulitan untuk mengerahkan tenaga jika harus memperlakukan secara khusus seluruh murid satu-persatu. Kondisi sekolah negeri di Indonesia yang demikian sangat memprihatinkan karena sangat banyak orangtua yang mengandalkan sekolah negeri dengan alasan biaya pendidikan yang tergolong murah dan bersubsidi.

Atas dasar kekhawatiran yang melanda para orangtua dalam memberikan pendidikan bagi anak lewat sekolah yang tepat, akhirnya beberapa orangtua dari kalangan ekonomi menengah ke atas saat ini beralih pada institusi pendidikan homeschooling. Perlu diketahui pula, jenis pengajaran homeschooling memiliki beragam bentuk dan tidak melulu pengajaran disampaikan lewat jarak jauh. Beberapa lembaga homeschooling memungkinkan untuk mengadakan pertemuan siswa dalam kelas kecil secara berkala namun tidak rutin seperti sekolah pada umumnya serta melibatkan orangtua sebagai sarana pengajar. Hal ini cukup menarik, karena pada umumnya yang terjadi di sekolah formal justru sosok orangtua tidak dilibatkan secara penuh. Dengan adanya jenis homeschooling dengan posisi orangtua sebagai pemamah bahan ajar kepada anaknya sendiri, tentu dapat mengentaskan rasa pesimis dan menghapus jarak yang selama ini terbangun dalam struktur pendidikan di sekolah.

Secara historis, kehadiran sistem homeschooling di Indonesia sudah cukup lama yaitu sejak era kolonial. Dipopulerkan oleh tokoh pahlawan nasional, Agus Salim, yang percaya bahwa menjadi cerdas tidak perlu di kelas/sekolah formal. Agus Salim mendorong budaya membaca pada anak-anaknya lewat memfasilitasi bahan bacaan berbahasa asing sehingga tidak heran jika anak-anaknya sangat cerdas dan telah mahir menulis-membaca dalam berbagai bahasa sejak balita. Sebagai lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS), Agus Salim memiliki kemampuan mengajar yang mumpuni. Namun langkah karir akademik Agus Salim harus terhenti ketika ia hendak melanjutkan sekolah pendidikan kedokteran di Belanda karena “tidak ada beasiswa bagi inlander”, begitulah kalimat yang diucapkan oleh pihak yang berwenang.

Dipicu oleh trauma yang ada, maka Agus Salim berniat untuk memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi semua anaknya agar kegagalan serupa tidak menimpa pada keturunannya. Menariknya, Agus Salim mendidik secara langsung seluruh anaknya di rumah dengan menggunakan metode pendidikan yang sangat tidak biasa. Suasana belajar mengajar diciptakan senyaman dan semenyenangkan mungkin namun tetap dalam kontrol Agus Salim sebagai pengajar. Anak-anak diperbolehkan memberikan kritik, bertanya ataupun menyanggah apapun materi yang diajarkan oleh Agus Salim sehingga tercipta ruang komunikasi yang diadik antara pengajar dan yang diajar. Untuk mata pelajaran berhitung, Agus Salim melakukan simulasi dalam bentuk permainan sehingga anak-anak akan lebih mudah mengingat dibandingkan menggunakan metode yang sangat kaku seperti di bangku kelas lazimnya. Sedangkan untuk penanaman nilai budi pekerti, sejarah serta ilmu sosial lainnya disampaikan lewat cara bercerita dan obrolan sehari-sehari.

Andai Agus Salim mewariskan cara mengajar yang telah ia lakukan dengan meniadakan penyamarataan sistem pendidikan serta komersialisasi institusi pendidikan di Indonesia, maka semua orangtua dengan kelayakan tingkat pendidikan tertentu akan memiliki kewenangan dalam mendidik anaknya sendiri. Tanpa pembedaan dan sama-sama memiliki ijazah yang diakui oleh negara, tentu sistem pendidikan yang demikian akan menjadi sebuah alternatif yang bersifat win-win solution. Pemerintah akan terbantu oleh peran orangtua sebagai fasilitator dan agen pendidik utama, dan orangtua akan lebih mudah mengawasi perkembangan belajar anaknya tanpa dibayang-bayangi oleh kecemasan yang ditimbulkan oleh dunia luar. Perlu juga menjadi perhatian bahwa sistem pendidikan seperti ini dapat berjalan lancar dengan suatu kualifikasi tertentu yang harus dimiliki oleh pihak orangtua dan di bawah pengawasan dari pemerintah.

Kontributor : Izmy

Review Film : Okja (2017)

Sutradara : Bong Joon H
Penulis : Bong Joon H, Jon Ronson
Aktor : Tilda Swinton (Lucy Mirando), Paul Dano (Jay), Seo-Hyun Ahn (Mija), Hee-Bong Byun (Heebong), Steven Yeun (K), Lily Collins (Red), Je-mun Yun (Mundo Park), Shirley Henderson (Jennifer), Daniel Henshall (Blond), Devon Bostick (Silver), Woo- sik Choi (Kim), Jake Gyllenhaal (Dr. Johnny Wilcox). Genre : Drama, Petualangan.

“Kulitnya yang kasar menyiratkan bahwa hidupnya yang keras tetapi alami. Tingkahnya tak sekasar penampilannya. Begitulah Okja… hubungan batin kita tidak akan mudah dipisahkan. Meski dengan emas atau permata kalian menukarnya, aku akan tetap mempertahankanya, Okja.”

Cuplikan puisi diatas merupakan refleksi singkat apa yang saya rasakan setelah menonton film berjudul Okja. Film yang di sutradarai oleh Bong Joon-Ho ini bercerita mengenai seorang gadis bernama Mija (Ahn Seo-hyun) yang tinggal bersama pamannya (Byun Hee-bong) sedari kecil. Mereka berdua tinggal di pegunungan yang jauh dari hingar binger perkotaan. Sejak umur 4 tahun, Mija memiliki hewan (sintetis) peliharaan yang bernama Okja. Hewan tersebut merupakan titipan dari perusahaan besar Amerika yaitu Miranda Corp untuk nantinya 10 tahun kedepan dapat diambil lagi dan diikutkan dalam kontes babi tercantik yang akan bersaing dengan 25 babi sintetis yang tersebar di 25 negara lainnya. Perusahaan ini bergerak dibidang pengembangan pangan hewan sintetis yang langsung di pimpin oleh Lucy (Tilda Swinton). Singkat cerita 10 tahun berlalu, perusahaan Miranda yang diwakilkan oleh Dr. Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal) untuk mengambil Okja dari tangan Mija agar dapat dibawa ke New York untuk mengikuti kontes. Kedekatan yang telah terjalin antara Mija dan Okja selama bertahun-tahun membuat Mija tidak serta merta melepaskan Okja begitu saja.

Berawal dari dibawanya Okja oleh orang-orang perusahaan Miranda inilah petualangan Mija dimulai. Mulai dari stasiun kereta bawah tanah di Korea Selatan sampai di kota New York. Perjuangan Mija untuk merebut Okja dari cengkeraman Miranda Corp ini tidak mudah dan diwarnai dengan drama. Selama perjalanan merebut Okja, ternyata Mija dibantu oleh sekelompok orang yang tergabung dalam From Pembebasan Hewan. Berkat bantuan merekalah Mija akhirnya bisa sampai di New York dan pada akhirnya bisa menyelematkan Okja. Namun dibalik kisah yang dramatis dan penuh petualangan ini ada beberapa realita yang coba digambarkan oleh sang sutradara.

Terlepas dari menariknya film Okja dari segi cerita dan sinematografi, terdapat fakta yang cukup mebuat mata saya terbelalak tentang kejamnya industry ternak modern. Film ini dengan sangat jelas menggambarkan tentang kekejaman manusia terhadap hewan ternak. Ada beberapa adegan yang menggambarkan kengerian industry peternakan modern dalam film tersebut. Adegan yang harus diperhatikan adalah ketika berada di laboratorium dan rumah potong milik Mirando Corp. Dalam adegan tersebut ditunjukan beberapa hasil hewan sintetis yang gagal dalam percobaan dan tak sesempurna Okja. Film Okja sebenarnya cukup jelas menggambarkan hal yang memicu munculnya bioteknologi untuk industry ternak modern. Salah satu pemicunya adalah untuk memenuhi permintaan dan ketersediaan pangan dari produk ternak. Sehingga banyak ilmuwan yang mencoba untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui bioteknologi.

Realita seperti ini yang mungkin terjadi di masyarakat kita. Bahkan tanpa kita perhatikan, sudah banyak terjadi di sekitar kita. Contohnya ayam broiler, yang merupakan hasil perkawinan silang dengan system berkelanjutan hingga memperoleh mutu yang bagus seperti saat ini. Dengan pertumbuhan yang cepat inilah mempermudah manusia untuk menghasilkan daging dalam waktu yang lebih cepat pula dari ayam ternak alami.

Selain mengenai industri ternak yang dihasilkan oleh bioteknologi, satu lagi yang perlu kita perhatikan, yaitu tentang rumah potong. Di film Okja, rumah potong terlihat sangat brutal dan mengerikan. Di balik mewahnya daging yang tersaji di depan piring makan kita, terdapat proses yang keji, kejam, bahkan brutal. Seakan-akan hewan-hewan ini tak memiliki pilihan hidup selain berakhir dihadapan mesin pemotong yang akan mengakhiri nyawa mereka.

Dalam scene menjelang film berakhir ketika Mija ingin membebaskan Okja, terdapat adegan yang membuat kita sadar bahwa industrialisasi memang melegalkan segala cara demi kepentingan perusahaan, uang dan bisnis. Adegan ketika Mija memberikan babi emas untuk membeli Okja hidup-hidup menyadarkan kita bahwa harta telah menggantikan perasaan kemanusiaan diatas kepentingan bisnis. Membuang rasa kasih sayang kepada semua makhluk dan digantikan dengan ego kita terhadap kekayaan materi. Keegoisan di dalam diri kita membuat kita gelap mata terhadap perasaan kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup.

Kontributor : Dwi Febrianto

Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia: Warisan Dehumanisasi Kolonial sampai Kerentanan Maskulinitas

Kiranya saat ini kita masih kesulitan dalam mendefinisikan terma kekerasan serta mengklasifikasikan suatu fenomena ke dalam beberapa kategori bentuk kekerasan. Terlebih untuk menginterpretasikan bentuk kekerasan dalam institusi pendidikan, begitu banyak persinggungan antara tradisi dan kebudayaan dengan cita-cita sistem pendidikan yang ideal. Implikasi nyata yang kemudian kita alami adalah kesemenjanaan diri dalam menilai kekerasan yang berakhir dengan sikap memafhumkan bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan atas nama etiket serta konservatisme. Sistem nilai institusi pendidikan yang ditanamkan pada agenda rutin perpeloncoan, bullying, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual berpotensi dialami oleh seluruh pihak baik siswa maupun tenaga pendidik. Masih hangat tersiar berita di telinga kita kasus pemukulan seorang siswa terhadap guru salah satu sekolah menengah atas di Madura yang berakhir dengan tewasnya guru tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tiada satu orang pun dapat bebas dari jeratan ancaman kekerasan dalam institusi pendidikan. Adapun kasus kekerasan lain yang terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu pembunuhan berencana yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa di Medan kepada dosennya dengan motif rasa tidak puas atas nilai yang ia dapat dari dosen tersebut. Menariknya, respons yang muncul dari masyarakat atas fenomena ini terbagi menjadi dua kubu bersebrangan: banyaknya masyarakat yang mengutuk keras tindakan sadisitik yang dilakukan oleh sang mahasiswa, namun tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa kejadian ini dapat menjadi media pembelajaran bagi tenaga pendidik yang tidak profesional atau bertindak terlalu keras dalam mendidik.

Munculnya opini masyarakat yang secara implisit ‘mendukung’ tindakan mahasiswa tersebut menandakan betapa kentalnya disharmonisasi hubungan antara tenaga pendidik dan siswa. Bisa jadi karena represi yang terlalu lama terendap, emosi siswa menjadi eksplosif dan tak dapat terelakkan lagi. Menelusuri rekam jejak sejarah tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia, data International Center for Research on Women (ICRW) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dan 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Papua dan Papua Barat ‘melazimkan’ tindakan kekerasan di sekolah. Realita bahwa hukuman emosional dan fisik dari guru terhadap murid masih banyak dijumpai di sana, lebih dari 60% pengajar dilaporkan kerap menggunakan hukuman fisik terhadap peserta didiknya (hasil Multiple Indicator Cluster Survey Unicef, 2011). Sejumlah 54% sekolah di sana juga mempraktikkan cara hukuman fisik yang berat kepada peserta didik. Alasannya klasik; para guru mengaku angkat tangan dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mendisiplinkan para siswa.

Dari sudut pandang historis, kerangka praktik relasi-kuasa yang terjadi pada era feodalisme turut andil dalam pelanggengan praktik kekerasan di ranah pendidikan. Terbentuknya stratifikasi sosial berdasarkan ras dan tingkat ekonomi yang diprakarsai oleh para penjajah Belanda dilakukan dengan tujuan kepentingan politik bermuara pada mobilitas masyarakat pribumi yang terhambat. Sebagai contoh, praktik perbudakan yang dikenakan pada pribumi dengan tingkat ekonomi rendah dihiasi oleh berbagai tindakan penindasan dan penyiksaan dari kaum penjajah, kaum budak kemudian teralienasi dan masuk dalam lingkaran kemiskinan sistemik. Di dunia pendidikan, akses pendidikan secara sengaja dibuat terbatas dan hanya bisa diakses oleh kaum priyayi, berdampak pada nilai prestise tersemat secara inheren pada kaum terdidik dan khususnya tenaga pendidik. Eksklusivitas yang terbentuk pada akhirnya melegitimasi hirarki antara pihak yang terlibat dalam struktur lingkungan belajar, dan masyarakat secara instingtif dapat dengan mudah menerima konsep ini karena bagian dari repetitif relasi-kuasa dalam lapisan sosial. Perpeloncoan, senioritas, dan tindakan ‘main fisik’ di lingkungan sekolah ‘mensahihkan’ petilasan kolonialisme dalam bentuk pengejawantahan dari hubungan antara kaum proletar dan borjouis dalam bentuk perbudakan yang modern.

Lain halnya bila kita menggunakan kacamata maskulinitas, kita dapat melihat bahwa budaya kekerasan dalam pendidikan merupakan pengaruh dari kedudukan gender yang terinternalisasi pada masyarakat. Maskulinitas dianalogikan sebagai perwujudan kekuatan yang identik dengan kemampuan fisik dan teraliansi dengan sikap hegemoni serta subordinasi. Laki-laki yang tidak mampu mencapai indikator machoism secara otomatis dianggap bukan laki-laki sejati. Oleh karena itu, kekerasan dibenarkan sebagai arena pembuktian kelaki-lakian seseorang dan secara nyata dibuktikan dengan keterlibatan kekerasan di sekolah dalam bentuk bullying, tawuran, dan lain sebagainya. Kekerasan juga dapat menjadi sarana ekspresi dari kerentanan maskulinitas yang dialami oleh seorang laki-laki disaat dirinya tidak dapat mencapai standar maskulinitas. Nasib guru honorer dengan gaji minim ditambah konstruksi sosial yang mengharuskan laki-laki bertanggung jawab dalam bentuk pemenuhan nafkah keluarga contoh konkrit beban psikis yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan di dalam kelas antara guru laki-laki dan muridnya.

Kecenderungan pendidikan Indonesia yang stato-centris, di mana guru menjadi pemegang kuasa kontrol atas keberlangsungan pengajaran, sangat jelas tidak relevan untuk diaplikasikan karena begitu banyak dampak negatif yang dihasilkan seperti yang telah dijabarkan dari berbagai contoh kasus di atas. Sudah saatnya tenaga pendidik duduk sejajar bersama dengan siswa serta orangtua untuk bersinergi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman serta meminimalisir hirarki antara seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini sangat diperlukan karena walau negara telah membuat peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak dari tindak kekerasan tercatut pada UU Nomor 35 Tahun 2014, upaya tersebut tidak dapat digunakan menjadi senjata utama dalam mengentaskan kekerasan dengan korban anak. Penyejahteraan guru dan mengapresiasi dedikasi yang telah dilakukan oleh para guru juga dapat digunakan sebagai salah satu jalan keluar menyudahi tindak kekerasan dalam pendidikan selain menciptakan lingkungan pendidikan yang sadar kekerasan lewat pemberian edukasi.

Kontributor : Izmy

PENGANAKTIRIAN ILMU SOSIAL-HUMANIORA DI INDONESIA

Polemik dikotomi ilmu sosial-humaniora versus ilmu sains-teknologi faktanya masih terus lestari hingga saat ini. Bagaimana para siswa yang memilih jurusan sosial-humaniora mengalami pengdiskreditan secara sosial dari masyarakat (terutama keluarga) bahkan negara. Masih cukup banyak orangtua yang merongrong anaknya untuk memilih jurusan teknik ataupun sains dengan alasan jurusan tersebut menjanjikan pekerjaan yang layak. Pihak sekolah dan para pendidik juga sering kali turut andil menjadi aktor utama dalam memperkeruh dikotomi ilmu dengan mengarahkan siswa dengan nilai rapor baik agar masuk jurusan eksak dan pembedaan perlakuan bagi siswa jurusan sosial. Hal ini tak ayal menciptakan friksi antara hubungan orangtua-anak karena adanya ambisius yang ditularkan dari pihak orangtua serta stigma yang melekat pada siswa jurusan sosial terus berkembang di ranah pendidikan.

Alih-alih mendamaikan fenomena superioritas di antara kedua ilmu, negara memberikan sikap pembiaran dan secara tidak langsung turut melanggengkan praktik dikotomi ilmu. Baru-baru ini tersiar penerapan kebijakan baru bahwa sejak akhir tahun 2017 pemerintah Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memangkas jatah beasiswa bagi pemilih ilmu sosial-humaniora dengan alasan penerima beasiswa LPDP dari bidang keilmuan tersebut sudah terlampau banyak. Sehingga secara otomatis jurusan sains dan teknologi menjadi fokus utama dari LPDP di tahun ini. Namun kebijakan di atas perlu ditinjau ulang karena mengutip data dari salah satu media massa, Tirto, ditinjau dari bidang ilmu yang diminati oleh peserta LPDP, bidang teknik telah diambil oleh 1.999 orang, sains 1.711 orang, pendidikan 1.354 orang, kedokteran dan kesehatan 1.070 orang, sosial 935 orang, ekonomi 675 orang, hukum 481 orang, serta budaya, seni, dan bahasa 480 orang. Data di atas menunjukkan bahwasanya jumlah penerima LPDP dari setiap bidang keilmuan bisa dikatakan cukup berimbang.

Tampaknya pemerintah belum sadar betul bagaimana ilmu sosial memiliki peran penting dan berkontribusi nyata dalam menyusun suatu strategi sosial-politik negara dan menciptakan sebuah revolusi kolosal. Era kolonialisme menjadi salah satu arena kemunculan antropolog jauh sebelum ilmu sosial dikenal oleh masyarakat lewat ‘catatan harian’ yang mereka tulis ketika bertandang ke negara jajahan. Catatan harian yang berisi pengamatan mengenai kondisi masyarakat setempat menjadi sebuah kerangka siasat dalam upaya menaklukan negara lawan dan ekspansi wilayah kekuasaan. Salah satu tokohnya adalah Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang menjabat sebagai penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan penelitian mendalam di Aceh yang hasilnya membuat Belanda memenangkan Perang Aceh. Bukti sejarah ini kemudian ditegaskan oleh pernyataan Dendy R. Atmosuwito (peneliti Institute for Democracy and Welfarism) mengenai urgensi ilmu sosial bagi keberlangsungan sistem negara, bahwa Sukarno tanpa ilmu sosial dan humaniora mungkin tidak akan pernah menjadi pemimpin besar bangsa kita; beliau mungkin hanya akan jadi insinyur suruhan Belanda. Tanpa ilmu sosial dan humaniora, Romo Mangun sangat mungkin hanya arsitek, alih-alih menjadi pastor humanis dan membangun permukiman penduduk Kali Code. Dan tanpa ilmu sosial, Tan Malaka tak akan pernah menjadi tokoh revolusioner dan memperkenalkan konsep republik untuk Indonesia; kariernya akan mentok sebagai guru di Kweekschool.

Jika alasan utama pembiaran ini terus terjadi atas dasar bahwa ilmu sosial dianggap ilmu pengetahuan yang tidak ilmiah, seharusnya pemerintah Indonesia dapat melepaskan pandangan tersebut dengan berkaca pada langkah yang dilakukan oleh pemerintah Eropa dalam menghimpun peneliti sosial yang ada (disebut juga program INTERCO-SSH). Maksud dari program pemusatan para peneliti sosial ini adalah menjalin kerjasama antara pemerintah dengan peneliti, salah satunya lewat bantuan dana bagi peneliti untuk melakukan kajian sosial-humaniora demi kepentingan perumusan atau analisa kebijakan publik. Masyarakat yang memilih untuk menekuni ilmu sosial-humaniora kemudian mendapatkan apresiasi penuh dari pemerintah setempat lewat penyediaan lapangan penelitian dan menjaga produktivitas dari para peneliti sosal di dunia ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jika program ini turut diterapkan oleh pemerintah Indonesia maka ‘pekerjaan rumah’ aparatur negara dapat terbantu. Perubahan cara pandang terhadap ilmu sosial-humaniora lantas dapat terlaksana lewat dekonstruksi label negatif yang terlanjur dilekatkan pada ilmu pengetahuan sosial, dikotomi ilmu pengetahuan pun secara otomatis perlahan-lahan dapat berdiri bersama dalam satu poros roda keilmuan.

Kontributor : Izmy