3 Idiots

All izz well, All izz well ❤️???

Mengejar kesuksesan hidup adalah dambaan semua manusia di bumi ini. Namun, realitas terkadang sering berbelok dengan harapan kita. “3 Idiots”, film Bollywood yang sempat merajai box office dunia ini dipilih kembali untuk menghadirkan sosok Rancho, Farhan, dan Raju di tengah kita. Ketiga lelaki yang melakoni grup para “idiot” yang ingin mengejar sukses dalam hidup mereka.

Farhan yang bercita-cita menjadi seorang fotografer, di kala itu sering mendapat tentangan dari sang ayah yang hanya memandang insinyur sebagai jalan menuju sukses. Raju, sejak kecil mempercayai jimat-jimatan sebagai pembawa keberuntungan dalam hidupnya. Hingga tekanan dosen, membuatnya putus asa dan hampir kehilangan nyawa. Terakhir, Rancho, dikarenakan faktor ekonomi keluarganya, ia harus membawa identitas orang lain demi menimba ilmu di bangku kuliah.

Sepenggal kisah hidup ketiga tokoh tersebut akan menampilkan potret krisis kepercayaan diri pada para generasi muda. Krisis ini dapat dipicu oleh faktor keluarga, lingkungan ataupun ekonomi. Di saat kepercayaan diri itu mulai hilang, maka dampak terburuk yang akan kita bisa lihat adalah depresi yang mengarah pada bunuh diri.

Lantas apa yang hendak kita lakukan sebagai bagian dari mereka, kaum generasi muda? Hal yang paling penting adalah bangun keberanian dalam hati. “Hati kita mudah sekali takut, namun seberapa besar masalah yang sedang engkau hadapi, letakkan tanganmu di dada dan beritahu hatimu ‘semua akan baik-baik saja’.” Ini memang tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja, tetapi dia akan mengembalikan bibit kepercayaan diri itu kepadamu.

Shoplifters

Lewat pemaknaan dari “Yuri”, salah satu tokohnya yang merupakan simbolisasi dari cinta dan ketulusan. Film ini “Shoplifters” akan menghadirkan kisah sebuah keluarga yang selalu diliputi kehangatan dan kasih sayang tanpa diikat dengan status sedarah-sekandung.

Semuanya bermula dari perjumpaan
Yuri, gadis cilik yang mengalami kekerasan fisik oleh orang tuanya dengan Osamu, seorang penguntil toko. Dengan bermodal belas kasihan, Osamu membawanya bertemu para anggota keluarga dari latar belakang yang sosial yang kompleks dan ekonomi yang sulit.

Dari kesehariannya Yuri bersama keluarga Osamu, fenomena penelantaran anak adalah isu keluarga yang paling disorot secara gamblang. Lewat salah satu dialog Nobuyo, Istri Osamu, “Apakah secara otomotis anda akan menjadi seorang ibu setelah melahirkannya?”.Pertanyaan yang singkat namun mampu menggugah hati kita tentang biasnya status seorang “ibu” di mata masyarakat. Ibu bukan sebuah status semata, melainkan momen ketika kita siap memberikan cinta dan sayang sepenuhnya kepada sang anak apapun kondisi yang melekat padanya

Osamu dan Nobuyo mungkin bukanlah cerminan orang tua terbaik. Namun, sikap mereka dalam merawat dan mendidik Yuri tanpa melibatkan kekerasan hingga ia menjadi pribadi yang berani berpendapat dan penuh keceriaan menunjukkan peran yang perlu diambil oleh orang tua masa kini. Kepekaan dan ketulusan seorang ibu juga ditunjukkan oleh nenek terhadap Aki, salah seorang anggota keluarga dan Shouta yang dibesarkan pasangan suami Istri tersebut setelah ia ditelantarkan oleh keluarganya.

Semua nilai yang dapat ditarik dari film ini adalah sebuah keluarga tidak hanya tercipta dari sebuah ikatan darah namun, sebuah rasa ketulusan dan kehangatan dari para anggota keluarga lainnya. Seperti halnya dalam sebuah pertemanan, organisasi atau pekerjaan, kamu bisa menemukan keluargamu di dalamnya.

Vaartha Edisi 7

Persahabatan boleh jadi merupakan salah satu topik yang paling sering dibahas dalam dunia kontemporer kita sekarang, dan tak diragukan lagi adalah sendi utama dalam hubungan antar manusia. Untuk merayakan hari yang tidak suci namun penting ini, Vaartha mewawancarai Yulita (Yaya), seorang calon psikolog, perihal makna persahabatan dari perspektif disiplin ilmu psikologi. Tak lupa, Vaartha menyertakan pula tulisan-tulisan dalam polemik yang kiranya dapat mengukuhkan esensi dari persahabatan.

Sementara itu, buku yang diulas adalah Bartleby karya Herman Melville. Secara pribadi, redaktur ingin mengajak pembaca untuk menekuni tiap kalimat dalam tulisan ini baik-baik, karena boleh jadi inilah resensi buku paling dahsyat yang sampai saat ini diterima oleh Vaartha: sinopsis kisah Bartleby dijabarkan dengan amat apik, sebelum kemudian ditimpali dengan reungan pribadi ihwal persahabatan, yang juga tak kalah apiknya (apalagi mengingat cukup kaburnya relasi antara tema persahabatan dan plot dalam Bartleby!). Hanya satu kata: Bravo.

Akhir kata, selamat membaca bagi para pembaca sekalian, dan semoga kita bisa terus merajut tali persahabatan melalui saling tukar pikiran di Vaartha!

[pdf-embedder url=”https://wilwatikta.or.id/wp-content/uploads/2019/07/VAARTHA07-1.pdf” title=”VAARTHA07 (1)”]

Klik disini jika halaman tampilan tidak muncul.

GET TO KNOW YOUR FUTURE

GET TO KNOW YOUR FUTURE

Dalam beberapa tahun ke depan, para sahabat kita akan segera menginjakkan kaki di bangku perkuliahan. Tentu saja, mereka perlu mempersiapkan diri, salah satu yang terpenting adalah mengenal kampus dan jurusan apa saja yang tersedia.

Kegiatan “Roadshow kampus” ini merupakan bagian dari rangkaian acara “Open House YSL” agar para sahabat bisa lebih mengenal dekat dengan beragam kampus di Bandung. Berbagai kampus yang menjadi tujuan kita adalah ITB (Institut Teknik Bandung), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Universitas Kristen Maranatha dan Universitas Parahyangan. Tidak hanya sekedar berjalan melihat-lihat, mereka diberi pengenalan singkat oleh para kakak panitia YSL 2019. Dan tidak hanya kampus yang dikunjungi, beberapa tempat yang menjadi destinasi edukatif di Bandung juga menjadi salah satu tujuannya.

Selanjutnya adalah sharing jurusan bersama para kakak alumni dari Nalanda Study Center. Disini para sahabat bisa mengulik lebih dalam tentang jurusan yang ada di tiap kampus. Sebagai penutup acara, dilakukan sesi BBQ bersama para kakak panitia dari Youth Super League 2019.

MEMETIK BUAH KEHIDUPAN LEWAT ULURAN TANGAN

MEMETIK BUAH KEHIDUPAN LEWAT ULURAN TANGAN

Hampir dari kita semua sering mengeluhkan sulitnya hidup ini, dunia ini keras ketika suatu masalah menerpa. Kadang, 12 jam kita menjadi tidak produktif karena perasaan bad mood yang seringkali buat kita mager untuk ngelakuin apapun.

Tapi, mari kita melihat sejenak dengan sekitar kita. Realitas yang mereka hadapi sama seperti kita, bahkan terkadang bisa jauh lebih buruk. Pernahkah kita berpikir ketika berada dalam posisi para pedagang kaki lima? Kita akan melihat betapa beruntungnya kita untuk bisa menikmati hari dengan secangkir susu hangat, makan ayam goreng kesukaan kita dan bermain games untuk mengisi waktu senggang kita.

Inilah yang melatarbelakangi kegiatan para sahabat kita di hari ke-2 “Open House YSL”. Bertajuk yang sama dengan “10 Kebajikan untuk mereka” yang pernah dilakukan sebelumnya, para sahabat akan diminta menyelesaikan misi untuk membantu 10 para warga di sekitar pasar sederhana. Tak hanya itu, dalam setiap aksi, mereka harus mewawancarai para warga dan menuliskannya dalam sebuah catatan. Di akhir, mereka akan menyampaikan tiap pelajaran hidup yang diperoleh dalam sesi ini.

Vaartha Edisi 6

Hari Keadilan sudah semestinya dirayakan oleh kita semua selaku manusia penghuni bumi ini. Tapi bahkan yang lebih penting lagi, keadilan itu sendiri semestinya kita amalkan dalam tindakan sehari-hari, atau kalau belum bisa, minimal dalam pikiran dan angan-angan kita.

Inilah sebabnya edisi Vaartha kali ini girang bukan kepalang ketika mengetahui Saudara Eman mengirimkan tulisannya tentang keadilan. Isinya bisa dibilang komprehensif. Dari merunut asal-muasal kata keadilan dan adil itu sendiri, penulis bergerak maju untuk menyelidiki apa itu adil dalam beroperasinya sebuah negara, dalam hubungan si negara dengan rakyatnya, dalam hubungan antar negar yang memungkinkan masuknya modal asing yang memicu konsumerisme dan individualisme, dan akhirnya dalam penuntasan kasus-kasus HAM yang sampai saat ini terus menjadi momok bagi presiden terpilih mana pun.

Akhir kata: selamat membaca, dan semoga Vaarta bisa terus menjejali benak khalayak pembaca sekalian dengan tulia-tulisan kritis nan bermutu.

[pdf-embedder url=”https://wilwatikta.or.id/wp-content/uploads/2019/07/VAARTHA06.pdf”]

Klik disini jika halaman tampilan tidak muncul.

Lord of the Flies

Apa yang akan kamu lakukan ketika terdampar di pulau tak berpenghuni? Apakah akan tetap menegakan hukum dan moral atau malah bertindak sesuai kehendak hati? Akankah tetap menggunakan nalar-logika manusia atau mengandalkan insting hewan? Di film Lord of the Flies, kita diajak untuk memilih di antara dikotomi; dua pilihan yang tidak mungkin disatukan.

Dilema ini dihadapi Ralph, ketua kelompok yang ditunjuk oleh teman-temannya namun akhirnya malah ia yang ditinggal oleh teman-temannya. Awalnya semua berjalan sesuai perintahnya yaitu saling kerja sama menjaga nyala api, sebagai tanda pertolongan pada dunia luar (kapal atau pesawat yang lewat). Namun selang beberapa hari, Jack, pencetus ide “berburu” sekaligus pemprovokasi anggota kelompok lainnya agar lebih memilih mencari kebutuhan dasar makluk hidup, yaitu makan. Kelompok pun terbagi menjadi dua: kelompok yang berpikir jauh ke depan, memiliki harapan dan mempercayai api yang mereka jaga akan berhasil ditemukan orang luar dan kelompok yang berpikir instan, putus asa dan menerima cara penghidupan di pulau tersebut dengan berburu.

Di pertengahan cerita, keluarlah tabiat masyarakat barbar dari kelompok Jack, seperti mengambil barang-barang milik anggota kelompok Ralph, tanpa memperhatikan hak kepemilikan. Konflik klimaks yang paling mengejutkan adalah ketika anggota kelompok Jack yang tega membunuh anggota kelompok Ralph padahal mereka baru menginjak remaja. Bukan hanya sekali, dua kali, namun hendak ketiga kalinya. Pikiran apa yang terbesit dalam pikiran anak-anak tersebut pada saat itu? Apakah karena ketiadaan aturan dan hukum? Atau ketiadaan moral dan logika?

Film tersebut sekilas terlihat jauh di belakang, tidak kekinian, dan ketinggalan zaman. Namun masih relevan dan dapat dikaitkan dengan fenomena masa kini, ketika kamu di posisi mereka, manakah yang akan kamu pilih? Akankah kamu tetap menegakkan keadilan, kebenaran, moral ketika tiadanya hukum, aturan, dan pengawas? atau berjalan dengan aturanmu sendiri?