Artificial Intelligence

Film Artificial Intelligence bercerita tentang David si robot kecil yang berjuang untuk mendapatkan kembali kasih sayang sang ibu yang telah di rebut oleh saudaranya Martin sebagai anak asli dari ibunya. Martin sebagai anak pasangan Hendry dan Monica sedang di rawat dirumah sakit karena terserang penyakit langkah, penyakit yang di derita Martin tidak ada obatnya, hal ini membuat pasangan ini frustasi dan hilang harapan akan kesembuhan Martin. Pada suatu ketika sang suami memutuskan untuk memberi istrinya hadia sebuah boneka berupa anak kecil yang ‘hidup’, hadiah ini juga sebagai pengganti Martin dalam keluarga mereka, nama boneka ini adalah David. Awal kedatangan David sangat mengejutkan Monica, hal ini membuat Monica bersedih dan marah lantaran si David sangat mirip dengan Martin dan Monica menganggap bahwa tidak ada yang bisa menggantikan posisi Martin apalagi oleh sebuah besi tua, tapi pada akhirnya Monica bisa menerima kehadiran David dalam kehidupan mereka. Suatu ketika Martin sembuh dan bisa pulang kerumah menjalani hidup seperti biasa, dan persaingan antara David dan Martin di mulai. Adanya kecemburuan membuat mereka saling menantang satu sama lainnya untuk mendapatkan perhatian Monica. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sang suami istri kepada anak mereka yang mungkin akan saling melukai satu sama lainnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan David ke perusahaan yang menciptakannya.

Film ini sangat berkesan terutama pada pencapain teknologi oleh manusia, manusia terus berinovasi sampai bisa menciptakam besi tua yang memiliki emosi seperti si David. Mungkin suatu saat pencapaian itu bisa terwujud jika bercermin pada teknologi yang sudah dihasilkan manusia di jaman sekarang ini. Tapi seiring perkembangan zaman teknologi yang dihasilkan tidak hanya mempunyai nilai positif, melainkan teknologi juga mempunyai banyak nilai negatifnya. Misalnya di jaman sekarang HP sangat memudahkan manusia tapi bisa membuat seseorang menjadi ‘aneh’ karena dengan adanya HP. Banyak anak muda yang hanya peduli dengan media sosial dan game yang ada pada HP dibandingkan dengan lingkunganya, hal ini membuat mereka jadi antisosial. Teknologi bisa menghilangkan batas ruang dan waktu tapi teknologi juga menciptakan batas-batas diantara hubungan sosial manusia dalam masyarakat. Dan karenanya muncul pertanyaan kepada diri kita masing-masing untuk di renungkan apakah teknologi itu baik ?.

Info SBMPTN 2019

Tahun 2018 ini penerimaan mahasiswa baru di PTN tidak lagi bergantung pada hasil Ujian Nasional (UN). Hasil Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) pun tidak dipakai sebagai syarat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Yang menjadi acuan adalah nilai rapor siswa serta portofolio akademik.

Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Saiful Rachman menilai jadwal USBNdengan SNMPTN yang terlalu dekat pastinya tidak memungkinkan dalam mengakses nilai USBN.

Menurutnya, dengan tidak mengakui hasil USBN dan UN, terkesan mengesampingkan peran sekolah.

Dengan kondisi itu, sekolah diminta menjaga proses keseharian siswa di sekolah. Apalagi nilai rapor menjadi acuan panitia SNMPTN. “Saat ini justru akreditasi sekolah, kata Saiful yang jadi acuan. Sejak beberapa tahun terakhir SNMPTN menggunakan kuota penerimaan berdasar akreditasi sekolah yang semakin terbatas jumlahnya,”ungkapnya.

Akreditasi berpengaruh pada jumlah siswa yang bisa mendaftar SNMPTN. Sekolah dengan Akreditasi A bisa mendaftarkan 50 persen siswa dengan nilai terbaik di sekolahnya, Akreditasi B sebanyak 30 persen, Akdeditasi C sebanyak 10 persen, dan akreditasi lain 5 persen terbaik di sekolahnya.

Dia pun berharap siswa yang sudah diterima SNMPTN tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bila tidak dimanfaatkan, sekolah asal siswa itu bisa terkena sanksi. “Sekolah harus terus menjaga kualitasnya, termasuk memastikan siswa yang terdaftar memang berminat mengambil jurusan yang dipilih,” ujar mantan Kepala Badan Diklat Jatim ini.

Lars and The Real Girl

Every person in this town bends over backward to make Bianca feel at home. Why do you think she has so many places to go and so much to do? Huh? Huh? Because of you! Because – all these people – love you! We push her wheelchair. We drive her to work. We drive her home. We wash her. We dress her. We get her up, and put her to bed. We carry her. And she is not petite, Lars. Bianca is a big, big girl! None of this is easy – for any of us – but we do it… Oh! We do it for you! So don’t you dare tell me how we don’t care.

Satu potongan adegan pembicaraan dalam scene film ini yang saya sukai. Film ini bercerita tentang seorang lelaki Lars (Ryan Gosling), yang hidup bersama kakak (Gus/Paul Schneider) dan iparnya (Karin/Emily Mortimer). Lars memiliki sifat introvert dari kecil dan ia tidak menyukai kontak langsung dengan orang-orang namun ia selalu memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Suatu ketika Lars membeli Bianca dari toko online, sebuah boneka wanita yang menjadi simbol dalam kehidupannya. Adegan pembicaraan diatas adalah ketika Lars marah karena Bianca yang merupakan pacarnya tidak memiliki waktu untuknya, dan terus pergi bersama orang lain. Peran yang dimainkan Ryan Gosling membingungkan perasaan penonton karena disatu sisi ada rasa jijik ketika melihat seorang lelaki menganggap boneka adalah pacarnya dan ada perasaan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai membuat Lars bisa seperti itu.

Jika kita telaah kembali, kita pun sering berbicara/berinteraksi dengan benda mati, kebanyakan adalah dengan barang-barang yang kita cintai. Sosok pribadi Bianca adalah ilusi yang dibangun Lars sebagai perwujudan dirinya sendiri. Alur cerita film ini sangat bagus, di mana kajian terkait kemanusiaan sangat kental. Juga mengingatkan penonton dengan kehidupan kita sendiri, di mana hidup di zaman semakin modern menghilangkan sikap kemanusiaan dari nilai-nilai kebudayaan. Manusia hidup hanya untuk kegilaan modernitas seperti yang disalurkan Lars kepada Bianca. Lars merupakan korban dari kehilangan sikap kemanusiaan dalam keluarganya.