HIDUP DALAM TABU: MENIHILKAN PENDIDIKAN SEKS DALAM RUANG PENGAJARAN

Momen saya tergugah bahwa bobot jenis pendidikan Indonesia sangat timpang adalah ketika saya menghadiri sebuah acara launching hasil penelitian perkawinan anak di 12 provinsi yang dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang termasuk dari kelompok tenaga pendidik. Titik klimaks muncul disaat salah satu tenaga pendidik mengeluarkan statement pribadi dalam menanggapi kasus perkawinan anak dari sudut pandang akses pelajar terhadap pendidikan seks. Negara nyatanya tidak memfasilitasi pengetahuan pendidikan seks yang mumpuni bagi pelajar Indonesia; bukan cerita baru bahwa nilai konservatisme yang langgeng dan inheren menjadi salah satu faktor pemicu bahkan cenderung menguat saat ini. Beliau juga menekankan bahwa pendidikan khusus “knowing your body” di sekolah telah ditiadakan sehingga dikhawatirkan dapat memicu berbagai fenomena kekerasan seksual, bukti aktualnya adalah tingginya angka perkawinan anak. Walaupun pengetahuan mengenai pengenalan anggota tubuh sedikit banyak telah dibahas di beberapa mata pelajaran, namun beliau menyatakan adanya pembatasan pengetahuan yang salah satunya diindikasikan oleh tersensornya alat peraga tubuh karena dianggap cabul. Kenyataan ini membuat saya memutar ulang kenangan pengalaman pertama mendapatkan dasar pendidikan seks di masa sekolah. Semua teman saya tertawa ketika guru menyebut nama alat jenis kelamin dan guru saya merasa risih untuk membahas lebih subtil bab pelajaran tersebut. Dengan mengintegrasikan pengalaman empirik dengan situasi saat ini lantas saya paham bahwa absennya pendidikan seksual di ruang kelas ternyata memiliki implikasi yang sangat besar: pengebirian daya imajinasi seksual yang menimpa masyarakat Indonesia khususnya kalangan usia anak dan remaja.

Budaya penyensoran yang tengah marak saat di dunia pendidikan hanyalah fenomena repetitif; bagaimana realita sejarah bangsa dimanipulasi dalam teks buku pelajaran termasuk pendidikan seks yang dianggap sebagai pengetahuan yang layak untuk ‘disembunyikan’ juga. Perasaan vulgar dalam membicarakan seksualitas terhibridisasi dalam pranata sosial serta adat ketimuran yang masih dipegang teguh oleh mayoritas kelompok masyarakat. Atas dasar hal ini, maka keluarga (khususnya orangtua) tidak dapat menjalankan fungsi pendidikan secara maksimal karena terbentur oleh peran dalam mentransmisikan orientasi nilai moral yang berlaku pada generasi selanjutnya. Penciptaan mitos-mitos mengenai seksualitas menjadi jalan tengah yang dilakukan oleh para orangtua dan terlanjur mengakar begitu dalam di benak masyarakat Indonesia sehingga banyak mispersepsi yang muncul. Rasa penasaran yang dengan sengaja direpresi oleh kultur pantangan ini; alih-alih menciptakan sebuah keteraturan, justru menimbulkan hasrat ingin tahu yang tidak terkontrol dan eksperimen personal pada anggota tubuh dengan cara yang tidak tepat. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai ketergantungan dengan kehadiran internet, membuat anak-anak mencari sendiri pemenuhan wawasan mereka mengenai seks di dunia virtual tanpa pengawasan orangtua.

Berbagai perhatian dan kontribusi dari aktivis yang pro terhadap pemberian edukasi mengenai seks dan pengenalan anggota tubuh sejak dini menjadi sebuah pelita dalam fenomena tebang pilih jenis pendidikan di Indonesia saat ini. Meskipun banyak sekali tantangan yang mesti dihadapi karena harus bersinggungan dengan adat, kultur, dan agama namun upaya ini terus dilakukan dengan memberikan pendidikan seks lewat kurikulum non-formal. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berhasil membangun kerjasama dengan pihak sekolah untuk menyampaikan pendidikan seks dan pengenalan anggota tubuh secara khusus di luar jam kegiatan belajar-mengajar. Rintangan lain yang harus dihadapi adalah kegiatan pemberian edukasi lewat kerjasama dengan pihak sekolah memberikan bias bagi kalangan masyarakat yang tidak dapat mengakses bangku pendidikan sehingga diperlukan bentuk edukasi dengan cara lain mengikuti konteks kultur masyarakat setempat. Sayangnya, upaya mulia ini (lagi-lagi) tidak diiringi oleh dukungan pemerintah; jika rancangan KUHP terkait pasal kesehatan reproduksi disahkan maka hanya pemerintah yang berwenang untuk memberikan sosialisasi kesehatan reproduksi, aktivis dan tenaga pendidik yang terlibat sebagai pegiat akan mendapatkan tindak pidana.

Degradasi dunia pendidikan Indonesia yang semakin akut karena tindakan peniadaan pendidikan seks di lingkungan pendidikan mencerminkan abainya negara dalam melindungi masyarakat khususnya pelajar dan anak. Pemerintah telah luput bahwa rancangan KUHP lain yang tengah digadang-gadang di kursi DPR mengenai pasal terkait zina dan pencabulan anak hanya membuat posisi anak semakin rentan terhadap diskriminasi serta maraknya perkawinan anak karena diiringi oleh tersingkirnya pendidikan seks di institusi pendidikan maupun keluarga. Tugas besar untuk mengubah citra pendidikan seks agar tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia kini bukan hanya tugas aktivis dan tenaga pendidik. Diperlukan inisiatif dari masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap pendidikan seks dengan cara membedakan wawasan mengenai seksualitas dari bentuk pornografi. Segala hal yang berhubungan dengan seks juga seharusnya tidak melulu diasosiasikan dengan kata kasar/makian karena keberadaan pendidikan seks dini sangat penting dalam membangun kualitas generasi muda.

Kontributor : Izmy

Pendidikan Tanpa Kelas : Kenapa Tidak ?

Institusi pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah saat ini sudah memiliki banyak macam alternatif. Sekolah berbasis pendidikan alam, sekolah rumah (homeschooling), sekolah dominan muatan ajaran agama, dan masih sekolah lainnya yang seharusnya dapat membantu orangtua dalam memilih sekolah yang tepat bagi sang anak. Sejatinya naluri orangtua, tentunya tersimpan harapan untuk dapat memberikan kualitas pendidikan yang unggul bagi anaknya. Namun harapan ini terkadang berbenturan dengan hal lain, terutama ekonomi, karena untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik ternyata membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Hal dilematis lainnya yang melanda para orangtua dalam memilih institusi pendidikan yang tepat adalah ideologi serta nilai moral yang diberikan oleh sekolah/staff pengajar pada anak serta jaminan keamanan yang melindungi seluruh siswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini ternyata radikalisme telah hadir di ruang-ruang kelas, dipengaruhi oleh latar belakang pengajar atau kurikulum sekolah tanpa sepengetahuan orangtua siswa. Perihal keamanan di sekolah, nyatanya sekolah dengan predikat baik juga bisa luput dalam mengawasi keamanan para siswa. Hal ini tercerminkan pada kasus sebuah sekolah internasional di Jakarta beberapa tahun yang lalu, di mana salah satu staff pengajar di sekolah tersebut adalah seorang predator anak incaran interpol.

Keharusan setiap anak untuk menempuh sekolah formal yang dilegitimasi oleh negara lewat ujian nasional yang menjadi prasyarat kelulusan dan melanjutkan pendidikan membuat sekolah memiliki nilai wajib dan tergolong pada kebutuhan primer. Padahal di sisi lain, adapun faktor internal yang mempengaruhi dalam faktor pemilihan sekolah yaitu karakter dari sang anak. Kita tidak dapat berharap lebih dengan fasilitas yang diberikan oleh sekolah negeri karena adanya ketimpangan perbandingan jumlah siswa dan pengajar. Hal ini menimbulkan keterbatasan perhatian yang diberikan oleh pengajar terhadap siswa. Dengan tipe belajar setiap anak yang berbeda-beda plus variasi karakter anak yang ada, sekolah negeri jelas akan kesulitan untuk mengerahkan tenaga jika harus memperlakukan secara khusus seluruh murid satu-persatu. Kondisi sekolah negeri di Indonesia yang demikian sangat memprihatinkan karena sangat banyak orangtua yang mengandalkan sekolah negeri dengan alasan biaya pendidikan yang tergolong murah dan bersubsidi.

Atas dasar kekhawatiran yang melanda para orangtua dalam memberikan pendidikan bagi anak lewat sekolah yang tepat, akhirnya beberapa orangtua dari kalangan ekonomi menengah ke atas saat ini beralih pada institusi pendidikan homeschooling. Perlu diketahui pula, jenis pengajaran homeschooling memiliki beragam bentuk dan tidak melulu pengajaran disampaikan lewat jarak jauh. Beberapa lembaga homeschooling memungkinkan untuk mengadakan pertemuan siswa dalam kelas kecil secara berkala namun tidak rutin seperti sekolah pada umumnya serta melibatkan orangtua sebagai sarana pengajar. Hal ini cukup menarik, karena pada umumnya yang terjadi di sekolah formal justru sosok orangtua tidak dilibatkan secara penuh. Dengan adanya jenis homeschooling dengan posisi orangtua sebagai pemamah bahan ajar kepada anaknya sendiri, tentu dapat mengentaskan rasa pesimis dan menghapus jarak yang selama ini terbangun dalam struktur pendidikan di sekolah.

Secara historis, kehadiran sistem homeschooling di Indonesia sudah cukup lama yaitu sejak era kolonial. Dipopulerkan oleh tokoh pahlawan nasional, Agus Salim, yang percaya bahwa menjadi cerdas tidak perlu di kelas/sekolah formal. Agus Salim mendorong budaya membaca pada anak-anaknya lewat memfasilitasi bahan bacaan berbahasa asing sehingga tidak heran jika anak-anaknya sangat cerdas dan telah mahir menulis-membaca dalam berbagai bahasa sejak balita. Sebagai lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS), Agus Salim memiliki kemampuan mengajar yang mumpuni. Namun langkah karir akademik Agus Salim harus terhenti ketika ia hendak melanjutkan sekolah pendidikan kedokteran di Belanda karena “tidak ada beasiswa bagi inlander”, begitulah kalimat yang diucapkan oleh pihak yang berwenang.

Dipicu oleh trauma yang ada, maka Agus Salim berniat untuk memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi semua anaknya agar kegagalan serupa tidak menimpa pada keturunannya. Menariknya, Agus Salim mendidik secara langsung seluruh anaknya di rumah dengan menggunakan metode pendidikan yang sangat tidak biasa. Suasana belajar mengajar diciptakan senyaman dan semenyenangkan mungkin namun tetap dalam kontrol Agus Salim sebagai pengajar. Anak-anak diperbolehkan memberikan kritik, bertanya ataupun menyanggah apapun materi yang diajarkan oleh Agus Salim sehingga tercipta ruang komunikasi yang diadik antara pengajar dan yang diajar. Untuk mata pelajaran berhitung, Agus Salim melakukan simulasi dalam bentuk permainan sehingga anak-anak akan lebih mudah mengingat dibandingkan menggunakan metode yang sangat kaku seperti di bangku kelas lazimnya. Sedangkan untuk penanaman nilai budi pekerti, sejarah serta ilmu sosial lainnya disampaikan lewat cara bercerita dan obrolan sehari-sehari.

Andai Agus Salim mewariskan cara mengajar yang telah ia lakukan dengan meniadakan penyamarataan sistem pendidikan serta komersialisasi institusi pendidikan di Indonesia, maka semua orangtua dengan kelayakan tingkat pendidikan tertentu akan memiliki kewenangan dalam mendidik anaknya sendiri. Tanpa pembedaan dan sama-sama memiliki ijazah yang diakui oleh negara, tentu sistem pendidikan yang demikian akan menjadi sebuah alternatif yang bersifat win-win solution. Pemerintah akan terbantu oleh peran orangtua sebagai fasilitator dan agen pendidik utama, dan orangtua akan lebih mudah mengawasi perkembangan belajar anaknya tanpa dibayang-bayangi oleh kecemasan yang ditimbulkan oleh dunia luar. Perlu juga menjadi perhatian bahwa sistem pendidikan seperti ini dapat berjalan lancar dengan suatu kualifikasi tertentu yang harus dimiliki oleh pihak orangtua dan di bawah pengawasan dari pemerintah.

Kontributor : Izmy