Review Film : Okja (2017)

Sutradara : Bong Joon H
Penulis : Bong Joon H, Jon Ronson
Aktor : Tilda Swinton (Lucy Mirando), Paul Dano (Jay), Seo-Hyun Ahn (Mija), Hee-Bong Byun (Heebong), Steven Yeun (K), Lily Collins (Red), Je-mun Yun (Mundo Park), Shirley Henderson (Jennifer), Daniel Henshall (Blond), Devon Bostick (Silver), Woo- sik Choi (Kim), Jake Gyllenhaal (Dr. Johnny Wilcox). Genre : Drama, Petualangan.

“Kulitnya yang kasar menyiratkan bahwa hidupnya yang keras tetapi alami. Tingkahnya tak sekasar penampilannya. Begitulah Okja… hubungan batin kita tidak akan mudah dipisahkan. Meski dengan emas atau permata kalian menukarnya, aku akan tetap mempertahankanya, Okja.”

Cuplikan puisi diatas merupakan refleksi singkat apa yang saya rasakan setelah menonton film berjudul Okja. Film yang di sutradarai oleh Bong Joon-Ho ini bercerita mengenai seorang gadis bernama Mija (Ahn Seo-hyun) yang tinggal bersama pamannya (Byun Hee-bong) sedari kecil. Mereka berdua tinggal di pegunungan yang jauh dari hingar binger perkotaan. Sejak umur 4 tahun, Mija memiliki hewan (sintetis) peliharaan yang bernama Okja. Hewan tersebut merupakan titipan dari perusahaan besar Amerika yaitu Miranda Corp untuk nantinya 10 tahun kedepan dapat diambil lagi dan diikutkan dalam kontes babi tercantik yang akan bersaing dengan 25 babi sintetis yang tersebar di 25 negara lainnya. Perusahaan ini bergerak dibidang pengembangan pangan hewan sintetis yang langsung di pimpin oleh Lucy (Tilda Swinton). Singkat cerita 10 tahun berlalu, perusahaan Miranda yang diwakilkan oleh Dr. Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal) untuk mengambil Okja dari tangan Mija agar dapat dibawa ke New York untuk mengikuti kontes. Kedekatan yang telah terjalin antara Mija dan Okja selama bertahun-tahun membuat Mija tidak serta merta melepaskan Okja begitu saja.

Berawal dari dibawanya Okja oleh orang-orang perusahaan Miranda inilah petualangan Mija dimulai. Mulai dari stasiun kereta bawah tanah di Korea Selatan sampai di kota New York. Perjuangan Mija untuk merebut Okja dari cengkeraman Miranda Corp ini tidak mudah dan diwarnai dengan drama. Selama perjalanan merebut Okja, ternyata Mija dibantu oleh sekelompok orang yang tergabung dalam From Pembebasan Hewan. Berkat bantuan merekalah Mija akhirnya bisa sampai di New York dan pada akhirnya bisa menyelematkan Okja. Namun dibalik kisah yang dramatis dan penuh petualangan ini ada beberapa realita yang coba digambarkan oleh sang sutradara.

Terlepas dari menariknya film Okja dari segi cerita dan sinematografi, terdapat fakta yang cukup mebuat mata saya terbelalak tentang kejamnya industry ternak modern. Film ini dengan sangat jelas menggambarkan tentang kekejaman manusia terhadap hewan ternak. Ada beberapa adegan yang menggambarkan kengerian industry peternakan modern dalam film tersebut. Adegan yang harus diperhatikan adalah ketika berada di laboratorium dan rumah potong milik Mirando Corp. Dalam adegan tersebut ditunjukan beberapa hasil hewan sintetis yang gagal dalam percobaan dan tak sesempurna Okja. Film Okja sebenarnya cukup jelas menggambarkan hal yang memicu munculnya bioteknologi untuk industry ternak modern. Salah satu pemicunya adalah untuk memenuhi permintaan dan ketersediaan pangan dari produk ternak. Sehingga banyak ilmuwan yang mencoba untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui bioteknologi.

Realita seperti ini yang mungkin terjadi di masyarakat kita. Bahkan tanpa kita perhatikan, sudah banyak terjadi di sekitar kita. Contohnya ayam broiler, yang merupakan hasil perkawinan silang dengan system berkelanjutan hingga memperoleh mutu yang bagus seperti saat ini. Dengan pertumbuhan yang cepat inilah mempermudah manusia untuk menghasilkan daging dalam waktu yang lebih cepat pula dari ayam ternak alami.

Selain mengenai industri ternak yang dihasilkan oleh bioteknologi, satu lagi yang perlu kita perhatikan, yaitu tentang rumah potong. Di film Okja, rumah potong terlihat sangat brutal dan mengerikan. Di balik mewahnya daging yang tersaji di depan piring makan kita, terdapat proses yang keji, kejam, bahkan brutal. Seakan-akan hewan-hewan ini tak memiliki pilihan hidup selain berakhir dihadapan mesin pemotong yang akan mengakhiri nyawa mereka.

Dalam scene menjelang film berakhir ketika Mija ingin membebaskan Okja, terdapat adegan yang membuat kita sadar bahwa industrialisasi memang melegalkan segala cara demi kepentingan perusahaan, uang dan bisnis. Adegan ketika Mija memberikan babi emas untuk membeli Okja hidup-hidup menyadarkan kita bahwa harta telah menggantikan perasaan kemanusiaan diatas kepentingan bisnis. Membuang rasa kasih sayang kepada semua makhluk dan digantikan dengan ego kita terhadap kekayaan materi. Keegoisan di dalam diri kita membuat kita gelap mata terhadap perasaan kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup.

Kontributor : Dwi Febrianto

Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia: Warisan Dehumanisasi Kolonial sampai Kerentanan Maskulinitas

Kiranya saat ini kita masih kesulitan dalam mendefinisikan terma kekerasan serta mengklasifikasikan suatu fenomena ke dalam beberapa kategori bentuk kekerasan. Terlebih untuk menginterpretasikan bentuk kekerasan dalam institusi pendidikan, begitu banyak persinggungan antara tradisi dan kebudayaan dengan cita-cita sistem pendidikan yang ideal. Implikasi nyata yang kemudian kita alami adalah kesemenjanaan diri dalam menilai kekerasan yang berakhir dengan sikap memafhumkan bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan atas nama etiket serta konservatisme. Sistem nilai institusi pendidikan yang ditanamkan pada agenda rutin perpeloncoan, bullying, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual berpotensi dialami oleh seluruh pihak baik siswa maupun tenaga pendidik. Masih hangat tersiar berita di telinga kita kasus pemukulan seorang siswa terhadap guru salah satu sekolah menengah atas di Madura yang berakhir dengan tewasnya guru tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tiada satu orang pun dapat bebas dari jeratan ancaman kekerasan dalam institusi pendidikan. Adapun kasus kekerasan lain yang terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu pembunuhan berencana yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa di Medan kepada dosennya dengan motif rasa tidak puas atas nilai yang ia dapat dari dosen tersebut. Menariknya, respons yang muncul dari masyarakat atas fenomena ini terbagi menjadi dua kubu bersebrangan: banyaknya masyarakat yang mengutuk keras tindakan sadisitik yang dilakukan oleh sang mahasiswa, namun tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa kejadian ini dapat menjadi media pembelajaran bagi tenaga pendidik yang tidak profesional atau bertindak terlalu keras dalam mendidik.

Munculnya opini masyarakat yang secara implisit ‘mendukung’ tindakan mahasiswa tersebut menandakan betapa kentalnya disharmonisasi hubungan antara tenaga pendidik dan siswa. Bisa jadi karena represi yang terlalu lama terendap, emosi siswa menjadi eksplosif dan tak dapat terelakkan lagi. Menelusuri rekam jejak sejarah tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia, data International Center for Research on Women (ICRW) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dan 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Papua dan Papua Barat ‘melazimkan’ tindakan kekerasan di sekolah. Realita bahwa hukuman emosional dan fisik dari guru terhadap murid masih banyak dijumpai di sana, lebih dari 60% pengajar dilaporkan kerap menggunakan hukuman fisik terhadap peserta didiknya (hasil Multiple Indicator Cluster Survey Unicef, 2011). Sejumlah 54% sekolah di sana juga mempraktikkan cara hukuman fisik yang berat kepada peserta didik. Alasannya klasik; para guru mengaku angkat tangan dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mendisiplinkan para siswa.

Dari sudut pandang historis, kerangka praktik relasi-kuasa yang terjadi pada era feodalisme turut andil dalam pelanggengan praktik kekerasan di ranah pendidikan. Terbentuknya stratifikasi sosial berdasarkan ras dan tingkat ekonomi yang diprakarsai oleh para penjajah Belanda dilakukan dengan tujuan kepentingan politik bermuara pada mobilitas masyarakat pribumi yang terhambat. Sebagai contoh, praktik perbudakan yang dikenakan pada pribumi dengan tingkat ekonomi rendah dihiasi oleh berbagai tindakan penindasan dan penyiksaan dari kaum penjajah, kaum budak kemudian teralienasi dan masuk dalam lingkaran kemiskinan sistemik. Di dunia pendidikan, akses pendidikan secara sengaja dibuat terbatas dan hanya bisa diakses oleh kaum priyayi, berdampak pada nilai prestise tersemat secara inheren pada kaum terdidik dan khususnya tenaga pendidik. Eksklusivitas yang terbentuk pada akhirnya melegitimasi hirarki antara pihak yang terlibat dalam struktur lingkungan belajar, dan masyarakat secara instingtif dapat dengan mudah menerima konsep ini karena bagian dari repetitif relasi-kuasa dalam lapisan sosial. Perpeloncoan, senioritas, dan tindakan ‘main fisik’ di lingkungan sekolah ‘mensahihkan’ petilasan kolonialisme dalam bentuk pengejawantahan dari hubungan antara kaum proletar dan borjouis dalam bentuk perbudakan yang modern.

Lain halnya bila kita menggunakan kacamata maskulinitas, kita dapat melihat bahwa budaya kekerasan dalam pendidikan merupakan pengaruh dari kedudukan gender yang terinternalisasi pada masyarakat. Maskulinitas dianalogikan sebagai perwujudan kekuatan yang identik dengan kemampuan fisik dan teraliansi dengan sikap hegemoni serta subordinasi. Laki-laki yang tidak mampu mencapai indikator machoism secara otomatis dianggap bukan laki-laki sejati. Oleh karena itu, kekerasan dibenarkan sebagai arena pembuktian kelaki-lakian seseorang dan secara nyata dibuktikan dengan keterlibatan kekerasan di sekolah dalam bentuk bullying, tawuran, dan lain sebagainya. Kekerasan juga dapat menjadi sarana ekspresi dari kerentanan maskulinitas yang dialami oleh seorang laki-laki disaat dirinya tidak dapat mencapai standar maskulinitas. Nasib guru honorer dengan gaji minim ditambah konstruksi sosial yang mengharuskan laki-laki bertanggung jawab dalam bentuk pemenuhan nafkah keluarga contoh konkrit beban psikis yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan di dalam kelas antara guru laki-laki dan muridnya.

Kecenderungan pendidikan Indonesia yang stato-centris, di mana guru menjadi pemegang kuasa kontrol atas keberlangsungan pengajaran, sangat jelas tidak relevan untuk diaplikasikan karena begitu banyak dampak negatif yang dihasilkan seperti yang telah dijabarkan dari berbagai contoh kasus di atas. Sudah saatnya tenaga pendidik duduk sejajar bersama dengan siswa serta orangtua untuk bersinergi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman serta meminimalisir hirarki antara seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini sangat diperlukan karena walau negara telah membuat peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak dari tindak kekerasan tercatut pada UU Nomor 35 Tahun 2014, upaya tersebut tidak dapat digunakan menjadi senjata utama dalam mengentaskan kekerasan dengan korban anak. Penyejahteraan guru dan mengapresiasi dedikasi yang telah dilakukan oleh para guru juga dapat digunakan sebagai salah satu jalan keluar menyudahi tindak kekerasan dalam pendidikan selain menciptakan lingkungan pendidikan yang sadar kekerasan lewat pemberian edukasi.

Kontributor : Izmy