PENGANAKTIRIAN ILMU SOSIAL-HUMANIORA DI INDONESIA

Polemik dikotomi ilmu sosial-humaniora versus ilmu sains-teknologi faktanya masih terus lestari hingga saat ini. Bagaimana para siswa yang memilih jurusan sosial-humaniora mengalami pengdiskreditan secara sosial dari masyarakat (terutama keluarga) bahkan negara. Masih cukup banyak orangtua yang merongrong anaknya untuk memilih jurusan teknik ataupun sains dengan alasan jurusan tersebut menjanjikan pekerjaan yang layak. Pihak sekolah dan para pendidik juga sering kali turut andil menjadi aktor utama dalam memperkeruh dikotomi ilmu dengan mengarahkan siswa dengan nilai rapor baik agar masuk jurusan eksak dan pembedaan perlakuan bagi siswa jurusan sosial. Hal ini tak ayal menciptakan friksi antara hubungan orangtua-anak karena adanya ambisius yang ditularkan dari pihak orangtua serta stigma yang melekat pada siswa jurusan sosial terus berkembang di ranah pendidikan.

Alih-alih mendamaikan fenomena superioritas di antara kedua ilmu, negara memberikan sikap pembiaran dan secara tidak langsung turut melanggengkan praktik dikotomi ilmu. Baru-baru ini tersiar penerapan kebijakan baru bahwa sejak akhir tahun 2017 pemerintah Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memangkas jatah beasiswa bagi pemilih ilmu sosial-humaniora dengan alasan penerima beasiswa LPDP dari bidang keilmuan tersebut sudah terlampau banyak. Sehingga secara otomatis jurusan sains dan teknologi menjadi fokus utama dari LPDP di tahun ini. Namun kebijakan di atas perlu ditinjau ulang karena mengutip data dari salah satu media massa, Tirto, ditinjau dari bidang ilmu yang diminati oleh peserta LPDP, bidang teknik telah diambil oleh 1.999 orang, sains 1.711 orang, pendidikan 1.354 orang, kedokteran dan kesehatan 1.070 orang, sosial 935 orang, ekonomi 675 orang, hukum 481 orang, serta budaya, seni, dan bahasa 480 orang. Data di atas menunjukkan bahwasanya jumlah penerima LPDP dari setiap bidang keilmuan bisa dikatakan cukup berimbang.

Tampaknya pemerintah belum sadar betul bagaimana ilmu sosial memiliki peran penting dan berkontribusi nyata dalam menyusun suatu strategi sosial-politik negara dan menciptakan sebuah revolusi kolosal. Era kolonialisme menjadi salah satu arena kemunculan antropolog jauh sebelum ilmu sosial dikenal oleh masyarakat lewat ‘catatan harian’ yang mereka tulis ketika bertandang ke negara jajahan. Catatan harian yang berisi pengamatan mengenai kondisi masyarakat setempat menjadi sebuah kerangka siasat dalam upaya menaklukan negara lawan dan ekspansi wilayah kekuasaan. Salah satu tokohnya adalah Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang menjabat sebagai penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan penelitian mendalam di Aceh yang hasilnya membuat Belanda memenangkan Perang Aceh. Bukti sejarah ini kemudian ditegaskan oleh pernyataan Dendy R. Atmosuwito (peneliti Institute for Democracy and Welfarism) mengenai urgensi ilmu sosial bagi keberlangsungan sistem negara, bahwa Sukarno tanpa ilmu sosial dan humaniora mungkin tidak akan pernah menjadi pemimpin besar bangsa kita; beliau mungkin hanya akan jadi insinyur suruhan Belanda. Tanpa ilmu sosial dan humaniora, Romo Mangun sangat mungkin hanya arsitek, alih-alih menjadi pastor humanis dan membangun permukiman penduduk Kali Code. Dan tanpa ilmu sosial, Tan Malaka tak akan pernah menjadi tokoh revolusioner dan memperkenalkan konsep republik untuk Indonesia; kariernya akan mentok sebagai guru di Kweekschool.

Jika alasan utama pembiaran ini terus terjadi atas dasar bahwa ilmu sosial dianggap ilmu pengetahuan yang tidak ilmiah, seharusnya pemerintah Indonesia dapat melepaskan pandangan tersebut dengan berkaca pada langkah yang dilakukan oleh pemerintah Eropa dalam menghimpun peneliti sosial yang ada (disebut juga program INTERCO-SSH). Maksud dari program pemusatan para peneliti sosial ini adalah menjalin kerjasama antara pemerintah dengan peneliti, salah satunya lewat bantuan dana bagi peneliti untuk melakukan kajian sosial-humaniora demi kepentingan perumusan atau analisa kebijakan publik. Masyarakat yang memilih untuk menekuni ilmu sosial-humaniora kemudian mendapatkan apresiasi penuh dari pemerintah setempat lewat penyediaan lapangan penelitian dan menjaga produktivitas dari para peneliti sosal di dunia ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jika program ini turut diterapkan oleh pemerintah Indonesia maka ‘pekerjaan rumah’ aparatur negara dapat terbantu. Perubahan cara pandang terhadap ilmu sosial-humaniora lantas dapat terlaksana lewat dekonstruksi label negatif yang terlanjur dilekatkan pada ilmu pengetahuan sosial, dikotomi ilmu pengetahuan pun secara otomatis perlahan-lahan dapat berdiri bersama dalam satu poros roda keilmuan.

Kontributor : Izmy